Oleh: Irwan Kurniadi
Pulau yang paling padat penduduknya di Kepulauan Nusantara diketahui adalah Pulau Jawa. Berdasarkan kajian linguistik, Robert Blust (1984/1985) berpendapat bahwa proses pembentukan proto bahasa Jawa, Bali, Sasak dan Sumbawa bagian barat baru terjadi pada 2500 BP yang kemungkinan berasal dari suatu daerah di Borneo atau Sumatra. Namun, bukti arkeologis yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis tersebut masih sangat terbatas, sehingga proses awal penghunian pulau Jawa oleh masyarakat neolitik Austronesia masih menjadi misteri. Mungkin saat ini situs-situs neolitik awal di pantai utara Pulau Jawa telah terkubur beberapa meter di bawah endapan aluvial.
Rumpun bahasa Austronesia merupakan salah satu rumpun bahasa terbesar yang digunakan di lebih dari separuh belahan dunia, membentang dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur, serta membujur dari Taiwan dan Hawai’i di utara hingga Selandia Baru di selatan. Luas persebarannya menjadikan rumpun bahasa Austronesia sebagai bahasa terbesar sebelum masa kolonialisme bangsa Eropa. Turunan rumpun bahasa Austronesia beranggotakan sekitar 1200 bahasa yang berkerabat, serta digunakan oleh lebih dari 350 juta orang, dengan jumlah penutur terbesar terdiri dari bahasa Melayu-Indonesia, Jawa dan Tagalog. Saat ini, bahasa Austronesia secara mayoritas digunakan di negara-negara; Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Brunei, serta oleh etnis tertentu di Taiwan (seperti; Atayal, Tsou dan Paiwan), Vietnam, Kamboja (etnis Cham), Birma (pengembara laut di Kep. Mergui), Timor Leste (seperti; Tetum, Quemac, dan Tocodede) dan beberapa etnis di pantai utara Papua (lihat: Tryon, 1995: 17-19 dan Martins, 2000: 78).
Wadah Bekal Kubur Berupa Tempayan di Ujung Timur Laut Jawa
Di ujung timur laut Jawa, ada bukti arkeologis tertua yang dapat diobservasi sementara ini, diduga berasal dari masa neolitik. Sejumlah informasi tinggalan arkeologis di timur laut Jawa atau tepatnya yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Situbondo, Jawa Timur yang membentang di lereng Gunung Baluran mulai diidentifikasi keberadaannya.
Masa neolitik atau zaman batu muda atau masa bercocok tanam merupakan masa yang amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban. Karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Bukti yang didapat dari masa neolitik terutama berupa tradisi penguburan menggunakan tempayan. Juga menghasilkan berbagai jenis batu yang telah dipersiapkan dengan baik. Kemahiran mengupam alat batu telah melahirkan jenis alat seperti beliung persegi, kapak persegi, kapak lonjong, alat obsidian, mata panah, pemukul kulit kayu, gerabah, serta perhiasan berupa gelang dari batu dan kerang.
Beliung persegi mempunyai bentuk yang bervariasi dan persebaran yang luas terutama di Indonesia bagian barat. Beliung tersebut terbuat dari batu rijang, kalsedon, agat dan jaspis. Sementara kapak lonjong tersebar di Indonesia bagian timur dan diduga lebih tua dari beliung persegi (Heekeren, 1972).
Yang menarik, temuan berupa kapak persegi dalam wadah bekal kubur berupa tempayan bersama fragmen gelang dan tulang, pada tanggal 26 September 2020 oleh seorang nelayan di seputaran hutan Taman Nasional Baluran.
Tempayan ditemukan dalam keadaan pecah. Objek tersebut oleh penemu, pertama kali diinformasikan pada Tim Cagar Budaya YMBS (Yayasan Museum Balumbung Situbondo).
Kondisi fragmen tempayan bagian atas.Sejak tanggal 27 hingga 28 September 2020 Tim Cagar Budaya YMBS bersama penemu meninjau lokasi temuan. Isi tempayan yang tersebut di atas beserta fragmen tempayan dengan dimensi bagian mulut berdiameter 16 cm, bagian sisi tengah berdiameter 33 cm termasuk fragmen tembikar lainnya, segera diamankan di Museum Balumbung Situbondo. Sementara sebagian fragmen lainnya yang kedalamannya 2-3 meter dari permukaan tanah, sengaja tidak diutak-atik agar tidak beresiko terjadi kerusakan data hingga diteliti oleh arkeolog nantinya. Di lokasi juga masih tampak kulit kerang yang masih tertancap pada lapisan tanah (tampak samping). Terdapat sumber mata air sekitar ratusan meter dari titik temuan. Koordinasi dengan pihak terkait pun dilakukan sesuai prosedur demi melindungi sumber daya arkeologi tersebut. Sebab dimungkinkan, area temuan menyimpan potensi artefaktual yang dapat diindikasikan kompleks pemakaman kuno.
Keberadaan ODCB (Objek Diduga Cagar Budaya) yang ditemukan dalam area yang terbuka memiliki potensi kerawanan kerusakan data arkeologis yang cukup tinggi. Tentunya diharapkan pihak berwenang dapat segera melakukan ekskavasi penyelamatan. Terlebih, nilai penting pelestarian cagar budaya tersebut, khususnya bagi Kabupaten Situbondo sangat bermakna bagi runutan narasi sejarah yang diawali dari masa prasejarah.
Lantas, sejauh mana analisis terhadap temuan wadah bekal kubur dengan kapak persegi, gelang dan tulang tersebut? Tentunya kita tunggu kajian arkeologis para pakar. (*)
إرسال تعليق